Pentingnya Iman Kepada Hari Akhir
Pembahasan Pertama.
PENTINGNYA IMAN KEPADA HARI AKHIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRILAKU MANUSIA
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
Iman kepada hari Akhir merupakan salah satu rukun dari rukun iman, dan salah satu ‘aqidah dari ‘aqidah Islam yang pokok, karena masalah kebang-kitan di negeri akhirat merupakan landasan berdirinya ‘aqidah setelah masalah keesaan Allah Ta’ala.
Iman kepada segala hal yang terjadi pada hari Akhir dan tanda-tandanya merupakan keimanan terhadap hal ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal, dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali dengan nash melalui wahyu.
Karena pentingnya hari yang agung ini, kita dapati (di dalam al-Qur-an) bahwa Allah Ta’ala seringkali menghubungkan iman kepada-Nya dengan iman kepada hari Akhir, sebagaimana Allah berfirman:
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian….” [Al-Baqarah/2: 177]
Juga seperti firman-Nya:
ذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ
“… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir….” [Ath-Thalaaq/65: 2]
Dan masih banyak ayat yang lainnya.
Jarang sekali Anda membuka lembaran-lembaran al-Qur-an kecuali Anda akan dapati padanya pembicaraan tentang hari Akhir dan apa yang ada di dalamnya berupa pahala dan siksa.
Kehidupan menurut pandangan Islam bukanlah sekedar kehidupan di dunia yang sangat pendek dan terbatas, bukan pula sebatas umur manusia yang sangat pendek.
Sesungguhnya kehidupan menurut pandangan Islam sangatlah panjang, berlanjut sampai tidak ada batasnya. Tempatnya pun berlanjut menuju tempat yang lain di dalam Surga yang luasnya seluas langit dan bumi atau di dalam Neraka yang semakin meluas karena banyaknya generasi yang menghuni bumi selama berabad-abad.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
سَابِقُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۙ اُعِدَّتْ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabb-mu dan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya….” [Al-Hadiid/57: 21]
Dan Allah berfirman:
يَوْمَ نَقُوْلُ لِجَهَنَّمَ هَلِ امْتَلَـْٔتِ وَتَقُوْلُ هَلْ مِنْ مَّزِيْدٍ
“(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada Jahan-nam, ‘Apakah kamu sudah penuh?’ Dia menjawab, ‘Masih ada tambahan?’” [Qaaf/50: 30]
Sesungguhnya beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan beriman kepada apa yang ada di dalamnya berupa pahala dan siksaan adalah sesuatu yang benar-benar mengarahkan prilaku manusia kepada jalan yang benar. Tidak ada satu undang-undang pun yang dibuat manusia, mampu menjadikan prilaku manusia lurus dan istiqamah sebagaimana yang dihasilkan oleh iman kepada hari Akhir.
Oleh karenanya, ada perbedaan yang sangat nampak antara prilaku orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, dia mengetahui bahwasanya dunia adalah ladang bagi kehidupan akhirat, juga mengetahui bahwasanya amal shalih adalah bekal hari Akhir, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ
“… Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa….” [Al-Baqarah/2: 197]
Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang Sahabat yang mulia ‘Umair bin Humam Radhiyallahu anhu[2]:
رَكْضًا إِلَى اللهِ بِغَـيْرِ زَادٍ إِلاَّ التُّقَى وَعَمَلِ الْـمَعَادِ
وَالصَّبْرِ فيِ اللهِ عَلَى الْجِهَادِ وَكُلُّ زَادٍ عُرْضَةُ النَّفَـادِ
غَيْـرَ التُّقَى وَالْبِرِِّ وَالرَّشَادِ
Berlari (menghadap) Allah tanpa bekal
kecuali ketakwaan dan amal untuk hari Akhir.
Juga kesabaran dalam berjuang di jalan Allah,
Dan setiap bekal pasti akan hancur.
Kecuali ketakwaan, kebaikan dan petunjuk.[3]
Terdapat perbedaan antara prilaku orang yang keadaannya seperti itu dengan prilaku orang yang tidak beriman kepada Allah, hari Akhir dan apa yang ada di dalamnya berupa pahala dan siksaan. “Maka orang yang mem-benarkan adanya hari Akhir akan beramal dengan melihat timbangan langit bukan dengan timbangan bumi, dan dengan perhitungan akhirat bukan dengan perhitungan dunia.”[4] Dia memiliki prilaku yang istimewa di dalam kehidupannya, kita bisa menyaksikan keistiqamahan di dalam dirinya, luasnya pandangan, kuatnya keimanan, keteguhan di dalam segala cobaan, kesabaran di dalam setiap musibah, dengan mengharap pahala dan ganjaran, serta yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal.
Al-Imam Muslim رحمه الله meriwayatkan dari Shuhaib Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
‘Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, semua urusannya adalah baik (baginya), hal itu tidak akan didapatkan kecuali oleh orang yang beriman. Jika dia mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur maka hal itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia tertimpa musibah, dia ber-sabar maka hal itu adalah kebaikan baginya.’”[5]
Manfaat seorang muslim tidak terbatas hanya untuk manusia saja, akan tetapi dirasakan pula oleh hewan, sebagaimana ungkapan yang sangat terkenal dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu:
لَوْ عَثَرَتْ بَغْلَةٌ فِي الْعِرَاقِ، لَظَنَنْتُ أَنَّ اللهَ سَيَسْأَلُنِيْ عَنْهَا: لِمَ لَمْ تُسَوِّ لَهَا الطَّرِيْقَ يَا عُمُرَ؟
“Seandainya ada seekor keledai terjatuh di Irak, sungguh aku yakin bahwa Allah akan bertanya kepadaku (di hari Kiamat) tentangnya, ‘Kenapa engkau tidak membuatkan jalan untuknya wahai ‘Umar?’”[6]
Perasaan seperti ini adalah buah dari keimanan kepada Allah dan hari Akhir, perasaan beratnya beban dan besarnya amanah yang dipikul manusia. Di mana langit, bumi, dan gunung merasa iba untuk menerimanya, karena dia tahu bahwa segala hal; baik yang kecil atau yang besar akan dimintai pertanggungjawaban, akan diperhitungkan dan akan dibalas. Jika baik maka baik pula balasannya, jika jelek maka jelek pula balasannya:
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا ۛوَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوْۤءٍ ۛ تَوَدُّ لَوْ اَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهٗٓ اَمَدًاۢ بَعِيْدًا
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh…” [Ali ‘Imran/3: 30]
وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا
“Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang pun juga.” [Al-Kahfi/18: 49]
Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir serta apa yang ada di dalamnya, baik perhitungan maupun pembalasan, maka dia akan selalu berusaha dengan keras untuk mewujudkan segala keinginannya dalam kehidupan dunia, terengah-engah di belakang perhiasannya, rakus dalam mengumpulkannya, dan sangat pelit jika orang lain ingin mendapatkan kebaikan melaluinya. Dia telah menjadikan dunia sebagai tujuannya yang paling besar, dan puncak dari ilmunya (pengetahuannya). Dia mengukur setiap perkara dengan kemaslahatannya semata, tidak mempedulikan orang lain dan tidak pernah melirik sesamanya kecuali dalam batasan-batasan yang dapat mewujudkan manfaat bagi dirinya pada kehidupan yang pendek dan terbatas ini. Dia bergerak dengan menjadikan bumi dan umur sebagai batasannya saja. Oleh karena itu, sistem perhitungan dan pertimbangannya pun berubah-ubah dan akan berakhir dengan hasil yang salah;[7] karena dia menganggap bahwa hari Kebangkitan itu tidak mungkin terjadi:
بَلْ يُرِيْدُ الْاِنْسَانُ لِيَفْجُرَ اَمَامَهٗۚ يَسْـَٔلُ اَيَّانَ يَوْمُ الْقِيٰمَةِۗ
“Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus. Ia berkata, ‘Bilakah hari Kiamat itu?’” [Al-Qiyaamah/75: 5-6]
Inilah cara pandang Jahiliyyah, terbatas dan sangat sempit. Cara pandang ini telah menjadikan mereka berani melakukan pembunuhan, merampas harta, dan merampok. Hal ini disebabkan karena mereka tidak beriman kepada hari Kebangkitan dan hari Pembalasan, sebagaimana yang digambarkan Allah Ta’ala tentang keadaan mereka dalam firman-Nya:
وَقَالُوْٓا اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ
“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), ‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.’” [Al-An’aam/6: 29]
Persis seperti ungkapan mereka, “Ia (kehidupan) hanyalah rahim-rahim yang melahirkan dan bumi yang menelan.”
Masa terus berlalu, dan datanglah suatu keanehan, maka pengingkaran terjadi semakin besar. Kita dapat menyaksikan pengingkaran yang menyeluruh terhadap sesuatu yang ada di belakang materi yang dirasakan panca indera, sebagaimana dinyatakan oleh kaum komunis marxis (atheis) yang mengingkari adanya pencipta, tidak beriman kepada Allah dan tidak mengimani adanya hari Akhir. Faham ini mengatakan bahwa kehidupan hanyalah materi belaka! Tidak ada hal lain di belakang materi yang bisa dirasakan ini; karena pemimpin mereka (Marxis) berpendapat tidak adanya tuhan! Dan kehidupan hanya sebatas materi! Oleh karena itu, keberadaan mereka bagaikan hewan; tidak bisa memahami makna kehidupan dan tujuan mereka diciptakan, bahkan mereka tersesat lagi binasa. Jika mereka bersatu pun, maka sebenarnya mereka berada di bawah bayangan rasa takut dari kekuasaan hukum.
Anda dapati golongan manusia seperti ini masuk ke dalam golongan manusia yang sangat rakus terhadap kehidupan dunia, karena mereka tidak mengimani adanya kebangkitan setelah kematian. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala ketika mensifati orang-orang musyrik dari kalangan Yahudi dan yang lainnya:
وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling tamak (rakus) terhadap kehidupan (di dunia), bahkan (lebih rakus lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Al-Baqarah/2: 96]
Orang musyrik tidak mengharapkan adanya kebangkitan setelah kematian. Dia menginginkan kehidupan dunia yang terus-menerus, sementara orang Yahudi mengetahui segala kehinaan yang akan mereka dapatkan di akhirat, disebabkan apa yang mereka perbuat terhadap ilmu yang mereka ketahui.[8] Manusia seperti ini dan yang serupa dengannya adalah manusia yang paling buruk. Sehingga Anda akan dapati sesuatu yang menyebar di kalangan mereka berupa keserakahan, ketamakan, memaksa rakyat dan menjadikannya budak, dan mengambil kekayaan mereka karena kerakusan untuk menikmati kehidupan dunia. Karena itulah nampak dari mereka hilangnya akhlak, dan prilaku yang seperti hewan.
Jika mereka memandang kehidupan dunia, bertambahlah rasa lelah dan rasa sakit atas apa yang mereka harapkan dari kenikmatannya yang segera. Sementara tidak ada satu pun penghalang yang bisa menahan mereka dari kematian, karena mereka tidak yakin sama sekali akan adanya pertanggung-jawaban di akhirat dan mereka tidak memiliki beban apa pun untuk mengakhiri kehidupannya.
Karena itulah Islam sangat memperhatikannya. Terdapat penekanan dalam al-Qur-an tentang keimanan terhadap hari Akhir, dan penetapan adanya kebangkitan, hisab serta balasan. Allah mengingkari sikap mereka yang menganggap bahwa hari Akhir itu mustahil, dan Dia memerintahkan Nabi-Nya agar bersumpah bahwa hal ini adalah haq (benar):
قُلْ بَلٰى وَرَبِّيْ لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْۗ وَذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ
“… Katakanlah (Muhammad), ‘Memang, demi Rabb-ku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [At-Taghaabun/64: 7]
Dan Allah menyebutkan keadaan hari Kiamat, pahala yang dijanjikan bagi para hamba-Nya yang bertakwa, juga siksa yang diancamkan kepada orang-orang yang melakukan kemaksiatan. Dia mengarahkan pandangan orang-orang yang mengingkarinya kepada bukti-bukti kebenarannya agar keraguan hati terhadapnya benar-benar hilang dan menjadikan hati mereka yakin tentang hari Kiamat dan kengeriannya yang menggetarkan badan. Hal itu agar prilaku mereka dalam kehidupan ini menjadi lurus dengan mengikuti agama yang haq yang dibawa oleh Rasul mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut ini beberapa bukti kebenaran tersebut.
- Penciptaan yang Pertama
Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَاِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَّغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْۗ
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sepurna kejadiannya dan yang tidak sempurna.…” [Al-Hajj/22: 5]
Barangsiapa sanggup menciptakan manusia dalam beberapa tahapan, niscaya tidak akan menyulitkan dia untuk menghidupkannya kembali (setelah mati), bahkan menghidupkan kembali lebih mudah daripada memulainya menurut hukum akal, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ
“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa pada kejadiannya; ia berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang men-ciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” [Yaasiin/36: 78-79]
- Bukti-Bukti Alam yang Bisa Dirasakan Menunjukkan Adanya Hari Kebangkitan
Allah Ta’ala berfirman:
وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍۢ بَهِيْجٍ ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّهٗ يُحْيِ الْمَوْتٰى وَاَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ۙ وَّاَنَّ السَّاعَةَ اٰتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيْهَاۙ وَاَنَّ اللّٰهَ يَبْعَثُ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ
“… Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang haq dan sesungguhnya Dia-lah yang meng-hidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya hari Kiamat itu pastilah datang, tidak ada ke-raguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” [Al-Hajj/22: 5-7]
Menghidupkan tanah yang telah mati dengan hujan dan munculnya tumbuh-tumbuhan di atasnya merupakan bukti kekuasaan al-Khaliq Azza wa jalla untuk menghidupkan yang telah mati dan adanya hari Kiamat.
- Kebesaran dan Keagungan Kekuasaan Allah dalam Menciptakan Makhluk-Nya yang Besar
Allah Ta’ala berfirman:
اَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يَّخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۗبَلٰى وَهُوَ الْخَلّٰقُ الْعَلِيْمُ اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Bukankah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa men-ciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dia-lah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [Yaasiin/36: 81-82]
Maka, Pencipta langit dan bumi dengan segala kebesaran keduanya sanggup untuk mengembalikan penciptaan manusia yang kecil, sebagaimana diungkap dalam firman-Nya:
لَخَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada pencipta-an manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ghaafir/40: 57]
- Hikmah Allah Ta’ala yang Nampak Jelas oleh Mata dalam Seluruh Ciptaan-Nya bagi Orang yang Diberikan Kenikmatan Memandang dan Berfikir yang Lepas dari Sikap Fanatik juga (Mengikuti) Hawa Nafsu
Allah Yang Mahabijaksana tidak akan pernah membiarkan manusia dalam keadaan sia-sia. Tidak juga menciptakan mereka main-main, tanpa perintah, larangan juga tanpa balasan atas amal yang mereka lakukan.
Allah Ta’ala berfirman:
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ فَتَعٰلَى اللّٰهُ الْمَلِكُ الْحَقُّۚ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Mahatinggi Allah, raja yang sebenarnya...” [Al-Mu’-minuun/23: 115-116]
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لٰعِبِيْنَ مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan main-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Ad-Dukhaan/44: 38-39]
Maka jelaslah bahwa orang yang mengarahkan pandangannya pada keajaiban-keajaiban penciptaan ini, mentadabburi (mengamati) keteraturan yang ada di dalamnya, dan (meyakini) segala sesuatu diciptakan dengan ukurannya masing-masing dan dengan tujuan tertentu serta waktu yang membatasi dalam mewujudkan tujuan ini. Jika seperti itu keadaannya berarti ia berjalan di atas jalan (manhaj) yang dikehendaki oleh Allah kepadanya.
Sesungguhnya pengamatan pada alam yang menakjubkan ini bisa memperlihatkan kepada kita -selain luasnya ilmu Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya- hikmah-Nya yang sangat tinggi, sehingga Allah tidak akan membiarkan manusia yang kuat berlaku zhalim kepada yang lemah di antara mereka tanpa ada ancaman/balasan, dan tidak membiarkan orang-orang yang berpaling dari jalan yang benar tanpa ada balasan yang pantas mereka dapatkan di belakang kehidupan ini. Demikian pula orang-orang yang telah mengkhususkan kesungguhan mereka dengan tidak menahan usahanya dalam beramal mencari keridhaan Rabb mereka. Allah tidak akan biarkan mereka tanpa mendapat keutamaan dari-Nya dan nikmat yang dilimpahkan kepada mereka di hari Akhir atas apa yang mereka ketahui bahwa segala harta yang mereka korbankan, dan kesulitan yang mereka pikul di kehidupan dunia mereka hanya merupakan sesuatu yang sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan pahala juga kenikmatan Surga yang tidak pernah dipandang mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas di dalam hati manusia.
Sesungguhnya jika manusia menghayati Sunnatullah di alam ini, juga keagungan hikmah-Nya, perhatian-Nya yang besar terhadap manusia dan kemuliaan yang diberikan kepadanya, niscaya hal itu akan mendorong mereka untuk beriman kepada hari Akhir. Maka saat itu rasa egois tidak akan betah di wajahnya yang penuh kebencian, tidak akan rakus dalam mencari kehidupan dunia, bahkan ia akan selalu saling membantu dalam ketakwaan dan kebaikan.
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab al-Yaumul Aakhir fi Zhilaalil Qur-aan (hal. 3-4) yang disusun oleh Ahmad Fa-iz, Mathba’ah Khalid Hasan ath-Tharabisyi, cet. I th. 1395 H.
[2] ‘Umair bin Humam bin al-Jamuh bin Zaid al-Anshari Radhiyallahu anhu. Beliau gugur pada perang Badar, dan dialah yang melemparkan beberapa biji kurma ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُومُوا إِلَـى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ.وَقَالَ: بَخٍ بَخٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا يَحْمِلُكَ عَلَى قَوْلِكَ بَخٍ بَخٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ إِلاَّ رَجَاءَةَ أَنْ أَكُونَ مِنْ أَهْلِهَا. قَالَ: فَإِنَّكَ مِنْ أَهْلِهَا. فَقَالَ: لَئِنْ أَنَا حَيِيْتُ حَتَّى آكُلَ تَمَرَاتِي هَذِهِ، إِنَّهَا لَحَيَاةٌ طَوِيْلَةٌ. ثُمَّ رَمَى بِهَا وَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ.
“Bersegeralah kalian menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” Dia (Umair) berkata, “Bakhin, bakhin (ungkapan yang digunakan untuk mengagungkan sesuatu,-penj.).” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk mengatakan bakhin, bakhin?” Dia menjawab, “Demi Allah wahai Rasulullah, tidak (ada yang mendorongku) kecuali harapan (semoga) aku menjadi peng-huninya.” Rasul berkata, “Sesungguhnya engkau termasuk penghuninya.” Dia berkata, “Jika aku masih hidup sampai aku memakan kurma-kurma ini, maka sungguh ia adalah kehidupan yang pan-jang.” Kemudian dia melemparkan kurma-kurmanya dan berperang hingga akhirnya dia gugur.”
Lihat Shahiih Muslim kitab al-Amaaraat bab Tsubuutul Jannah lisy Syahiid (XIII/ 45-46, Syarah an-Nawawi) dan Tajriidu Asmaa-ish Shahaabah (I/422), karya Imam adz-Dzahabi, cet. Darul Ma’rifah, Beirut. Dan Fiq-hus Siirah (hal. 243-244), karya Syaikh Muhammad al-Ghazali, tahqiq Syaikh Muham-mad Nashiruddin al-Albani, cet. Hassan, disebarluaskan oleh Darul Kutub al-Haditsah, cet. VII th. 1976 M.
[3] Fiq-hus Siirah (hal. 244), karya al-Ghazali.
[4] Al-Yaumul Aakhir fii Zhilaalil Qur-aan (hal. 20).
[5] HR. Muslim, kitab az-Zuhd, bab fii Ahaadiits Mutafarriqah (XVIII/125, Syarh an-Nawawi).
[6] HR. Abu Nu’aim dengan lafazh:
لَوْ مَاتَتْ شَاةٌ عَلَى شَطِّ الْفُرَاتِ ضَائِعَةً، لَظَنَنْتُ أَنَّ اللهَ سَائِلِيْ عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Seandainya seekor kambing mati di tepi sungai Furat karena tersesat, aku yakin bahwa Allah akan bertanya kepadaku tentangnya pada hari Kiamat.” Hilyatul Auliyaa’ wa Thabaqaatul Ashfiyaa’ (I/53), cet. Darul Kutub al-‘Arabi.
[7] Lihat kitab al-Yaumul Aakhir fi Zhilaalil Qur-aan (hal. 20).
[8] Lihat Tafsiir Ibni Katsir (I/184), tahqiq ‘Abdul ‘Aziz Ghanim dan dua temannya, cet. asy-Sya’bi – Kairo.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/88550-pentingnya-iman-kepada-hari-akhir-2.html